Qureta.co ~ Adakah penyair atau sastrawan kita yang memiliki latar belakang (pendidikan) sains? Jika ada, mengapa mereka tidak mau—atau barangkali tidak mampu(?)—membawa cara pandang sains ke dalam karya-karya mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba muncul setelah saya membaca puisi Nirwan Dewanto, seorang penyair sekaligus sarjana Geologi Institut Teknologi Bandung, dan menyadari bahwa puisi kita kini begitu sesak dengan jargon-jargon filsafat dan kritik sosial.
Barangkali karena menganggap sastra berada di seberang sains, sebagai dua entitas yang berhadap-hadapan, banyak pengarang yang berlatar belakang sains justru menanggalkan jubah sainsnya ketika masuk ke dunia sastra.
Gejala ini mungkin berangkat dari pandangan yang menyatakan bahwa sastra termasuk dalam wilayah kreativitas manusia, wilayah humaniora, sementara sains termasuk dalam wilayah invensi, wilayah non-humaniora.
Pandangan seperti ini kemudian menimbulkan persoalan yang cukup serius ternyata: mereka yang berlatar belakang sains ketika terjun ke dunia sastra tiba-tiba menjelma menjadi kritikus budaya atau kritikus sosial belaka.
Cara pandang mereka terhadap fakta, alam, dan benda-benda menjadi bias sosiolog ketimbang saintis. Malah kadang menjadi penganjur moralitas yang paling lantang, lebih lantang ketimbang kaum yang merasa sebagai polisi moral.
Darah sains yang mengalir dalam pemikiran mereka seperti hilang tak berbekas. Cara pandang sains yang semestinya mampu memperkaya nuansa dalam puisi atau prosa mereka justru tak muncul sama sekali.
Gejala yang hampir sama juga terjadi di ranah lain, yakni ketika mereka yang berlatar belakang sains tiba-tiba menjadi demikian konservatif saat berhadapan dengan agama. Daya kritis dan nalar ilmiah mereka tiba-tiba menjadi tumpul. Bahkan mereka tak segan mengabdikan sains sebagai pembenar bagi agama belaka.
Dan sayang sekali gejala ini adalah gejala global dan terjadi hampir pada semua semua agama. Maka jangan heran jika banyak sekali ritual-ritual atau ajaran dalam kitab suci agama tertentu kemudian dicocok-cocokkan dengan temuan-temuan ilmiah.
Entah beruntung atau buntung jika kita hanya mempunyai beberapa pengarang dan penyair yang masih percaya bahwa sains juga mampu memberikan kontribusi positif, bahkan memberikan perspektif baru sama sekali pada dunia puisi dan sastra kita.
Para pengarang yang hanya sedikit ini masih menyediakan waktu untuk membaca dan melakukan riset di laboratorium mahaluas. Di saat dunia puisi kita demikian sesak oleh moral, filsafat, dan kritik sosial, kehadiran sains sebagai sebuah jalan baru puisi berbahasa Indonesia, saya kira, akan mampu membawa warna dan pesona baru.
Simaklah sajak Nirwan berjudul “Cumi-Cumi” berikut:
Seperti saputangan iayang terkoyak di satu sudutnyaketika terantuk gugus terumbusaputangan tembus-cahayakarena kenyang oleh airmatakini mencari mata sejatimata yang tak bertanya-tanyake mana rangka tubuhnyake mana merah dagingnya.Sungguh, mata seperti ituadalah mata penyelam ulungyang juga tahu bahwa rerumbaidari sudut yang terluka ituberjumlah hanya sepuluhseperti jemarinya sendirijemari yang pernah terasaholeh duri bintang dan bulu bulan.Kukira keduanya bertemudi hamparan ganggang ketikaketika jemari penyelam itu berdarahdan para seteru bergigi belatimemburu mereka ke dasar jurang.Kukira keduanya berlombamenuju garis penghabisantidak, mereka bersintuhanbahkan berkelindan tanpa malusehingga dua puluh jemari itudua puluh rerumbai cabikan itumenjadi selebat gelombangsehingga tubuh si penyelammenjadi sebening udara pagidan si saputangan bukan lagiberenang, tetapi terbangterbang tinggi mencari matamata yang masih juga berkaca-kacasebab tak kuasa membedakan malamdari mangsi hitam seluas lautyang menarik si penyelam dari maut.Kukira seekor cumi-cumimenjelma sehelai saputangankarena ia selalu dahagaakan matamu, airmatamu.
Membaca sajak ini awalnya saya tergoda dengan frasa-frasa atau lelambang yang menyarankan pada makna tertentu. Bahkan yang kita sebut makna atau pesan itu memang nyaris membutakan.
Tapi kemudian saya menyadari bahwa barangkali ini adalah salah satu cara Nirwan mengecoh atau menyesatkan pembaca. Atau paling tidak cara Nirwan menghapus jejak si aku pengarang dalam sajak. Ketika saya buka lema cumi-cumi di Wikipedia, tiba-tiba seperti ada aliran listrik yang mengejutkan otak saya. Wow! Ini sesuatu yang baru bagi saya.
Frasa-frasa yang awalnya saya anggap sebagai lelambang ternyata menjadi kunci menuju pencerahan itu: “Seperti saputangan ia yang terkoyak di satu sudutnya,” “saputangan tembus-cahaya,” “ke mana rangka tubuhnya,” “ke mana merah dagingnya,” “rerumbai dari sudut yang terluka itu berjumlah hanya sepuluh,” “si saputangan bukan lagi berenang, tetapi terbang.”
Frasa-frasa ini ternyata sejajar belaka dengan gambaran cumi-cumi dalam kamus biologi. Demi melihat kenyataan demikian, saya merasa terpuaskan dan menikmati sajak ini tanpa terbebani untuk menangkap makna atau apapun yang hendak memuaskan tiap pertanyaan para pemburu makna.
Kekuatan sajak “Cumi-cumi” jelas berada pada detailnya, juga pada strukturnya yang sangat diperhitungkan. Dan untuk menopang susunan detail sehingga menjadi struktur yang solid, Nirwan sepenuhnya bersandar pada biologi, dengan bahasa yang deskriptif dan nyaris tanpa emosi, kecuali pada frasa “seteru bergigi belati” yang terasa nyinyir.
Entah pada siapa nyinyir itu dialamatkan. Barangkali pada mereka yang “masih juga berkaca-kaca sebab tak kuasa membedakan malam dari mangsi hitam seluas laut”. Yaitu mereka yang masih saja terharu dengan lanskap alam yang romantik.
Atau mungkin pada diri sendiri yang masih saja mengingkari sejarah dan dunia di mana ia tumbuh dan menyusu kepada bahasa ibunya. Dan, “Kukira seekor cumi-cumi menjelma saputangan karena ia selalu dahaga akan matamu, airmatamu”.
Senapas dengan “Cumi-Cumi”, sajak “Perenang Buta” juga memakai cara pandang dan bahasa sains sebagai suluh. Bahkan ia tampak lebih tegas dan percaya diri sejak mula. “Sepuluh atau seribu depa / ke depan sana, terang semata”. “Dan” sikap percaya diri itu muncul sebab “arus yang membimbingnya / seperti sobekan pada jubah / tanjung yang dicurinya”, yang lurus mengikuti serat benang hingga ujungnya.
Namun ketika “Tak beda ubur-ubur atau dara / mendekat ke punggungnya / yang tumbuh sekaligus memar / oleh kuas gerimis akhir Mei”, yakni ketika memar itu bertambah perih oleh sengat ubur-ubur dan patuk dara laut, “Ia seperti hendak kembali / ke arah teluk, di mana putih layar / pastilah iri pada bola matanya”.
Barangkali ia hendak kembali ke lanskap pantai, gunung, dan sawah yang masih saja menyilaukan atau mengharukan para kawan atau seterunya. “Tapi ia hanya berhenti, berhenti / di tengah, di mana rambutnya / bubar seperti ganggang biru / atau gelap seperti akar benalu / sehingga mercusuar itu / ragu-ragu memandangnya”. Bahkan ia tak lagi memerlukan terang dari sang mercusuar yang bahkan tak pernah beranjak dari tempatnya berdiri.
Dua puisi Nirwan ini, menurut saya, menawarkan jalan baru bagi khazanah puisi berbahasa Indonesia yakni dengan meminjam perspektif dan bahasa sains. Upaya Nirwan ini sekaligus meruntuhkan tabu yang selama ini mengendap dalam pikiran kita bahwa sains tidak memiliki tempat dalam sastra, apalagi puisi.
Memadukan sains dengan sastra memang bukan sesuatu yang baru. Bahkan gerakan ini sudah muncul jauh hari ditandai dengan lahirnya novel-novel perjalanan fantasi seperti Gulliver's Travels (1726) atau bahkan novel-novel dari Yunani kuno seperti Odyssey. Lalu menjadi lebih mapan pada 1920-an yang kemudian dikenal sebagai genre science fiction.
Jika kita tengok jauh ke masa lalu, Revolusi Copernican—yang ditopang oleh empat serangkai Copernicus, Kepler, Galileo, dan Newton—menjadi tonggak penting kemajuan sains. Ia membuat pemikiran yang telah mapan berabad-abad kemudian goyah. Bersamaan dengan itu, sains tidak saja meninggalkan pelbagai disiplin lain jauh di belakang tapi juga dianggap mengambil jalan yang terpisah, jika bukan berlawanan.
Filsafat kemudian merespon dengan membangun semacam dasar yang kokoh bagi pemahaman dan pengetahuan manusia. Sebab teori Copernicus jelas menunjukkan kelemahan indera manusia. Maka filsafat, terutama mazhab Cartesian, mendasarkan diri bukan pada pencerapan inderawi melainkan pada kesadaran yang melampaui kenyataan inderawi.
Namun sains bergerak terlampau cepat. Ia menabrak apa saja, termasuk nilai-nilai lama yang sudah mapan. Dan tiba-tiba semua hal yang terkait sains dianggap merusak tatanan, bahkan merusak alam itu sendiri. Kemudian muncul upaya pemisahan antara ilmu alam (sains) dari ilmu humaniora. Yang ilmiah justru diperlawankan dengan yang alami sebab dianggap tidak manusiawi.
Kemudian, setelah filsafat dianggap gagal, puisi muncul sebagai obat bagi segala luka yang disebabkan oleh sains. “Puisi bukanlah antitesis yang pas bagi prosa, tapi sains. Puisi adalah lawan sains, sementara prosa lawan bagi matra,” kata Coleridge.
Selain pandangan umum yang menempatkan puisi dan sains sebagai dua hal yang berhadap-hadapan, ada dua pandangan atas bahasa sains yang berkembang di sekitar kita: pertama, pandangan yang yang menganggap bahwa bahasa sains cenderung kaku, kering, tak sedap, dan tanpa emosi sehingga dianggap membosankan; kedua, pandangan yang menyatakan bahasa sains adalah bahasa yang sederhana, jelas, konstan, dan tak berbelit-belit dan di situlah letak keindahannya.
Pada titik inilah, saya kira, harus diakui bahwa puisi Nirwan masih menyisakan ganjalan pada aspek kelancaran dalam proses pembacaan. Seperti saat pertama kali mendengar jazz, saya agak tergagap dengan dinamisnya kata dan bunyi yang berhamburan dalam puisi Nirwan, bahkan kadang terdengar seperti bebunyi alat musik yang ditabuh sekenanya.
Namun sebagaimana jazz, semakin kita memahami dan dituntun masuk ke dalamnya, ternyata semakin kita dibuat jatuh cinta. Ada pengalaman dan pemahaman baru tiap kali membaca puisinya, bahkan puisi sama yang kita baca berulang-ulang.
Sajak “Ubur-Ubur,” misalnya, memperlihatkan warna lain puisi Nirwan yang bercerita tentang benda atau makhluk hidup. Ia tampak lebih lancar justru ketika hanya mengandalkan pengamatan inderawi dan penggambaran yang sudah umum.
Meski demikian godaan biologi tampaknya memang tak bisa ditahan oleh Nirwan, dengan “Menghapus ‘seperti’ berkali-kali” dari sajak ini. Atau tengok juga sajak “Nanas dari Roraima”: “Jantung kuning berbaju zirah, / berpuluh pedang di atas kepala.” Meski hanya semacam sampiran, namun penggambarannya betul-betul baru dan segar.
Membaca puisi-puisi Nirwan Dewanto, saya seperti menemukan oase di tengah dera puisi yang seperti hendak menumpulkan nalar: puisi-puisi yang memuja gelap, menyanjung sunyi, hingga yang menjunjung kritik banal atas realitas politik kekinian.
Tidakkah kita merasa cukup dengan pelbagai drama politik akhir-akhir ini yang semakin membuktikan betapa hukum moral sedemikian rapuh, serapuh puisi lirik yang seperti tak pernah beranjak dari Sapardi? Jalan Nirwan, menurut saya, hanya salah satu jalan di antara kemungkinan tak terbatas untuk memperbarui dan menyegarkan perpuisian kita.
Tanpa berupaya menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru, puisi kita hanya akan menjadi repetisi atas drama politik yang demikian menjemukan. Hari-hari ini kita melihat seorang anggota dewan yang terhormat lebih pandai merangkai metafor dan lebih lincah memilih diksi ketimbang para penyair yang hanya bisa marah melihat hukum moral yang rapuh dan nyaris ambruk.
0 komentar:
Posting Komentar