PELAN tapi pasti, jadwal pilkada serentak semakin mendekat. Perhelatan demokrasi tingkat daerah yang akan dilaksanakan Juni 2018 ini merupakan rangkaian pilkada serentak yang ketiga setelah pilkada serentak pada akhir 2015 dan 2017. Dengan demikian, tercatat ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten (total 171 daerah) yang akan secara serentak memilih pasangan gubernur-wakil gubernur, wali kota-wakil wali kota, dan bupati-wakil bupati dalam empat bulan yang akan datang.
Boleh jadi, rangkaian pilkada
serentak pada Juni 2018 akan ‘lebih semarak’ jika dibanding dua pilkada
serentak sebelumnya. Ini bukan didasarkan jumlah daerah yang akan
melaksanakannya. Sebagai contoh, pilkada serentak pada Desember 2015
diselenggarakan di 269 daerah (sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota),
sedangkan Pilkada serentak 2018 ‘hanya’ dilaksanakan di 171 daerah.
Semaraknya Pilkada serentak 2018
ini paling tidak disebabkan dua faktor.
Pertama, waktunya dilakukan
kurang dari satu tahun menjelang Pemilu April 2019;
Kedua, pilkada serentak kali ini
melibatkan tiga provinsi dengan jumlah pemilih paling banyak pada tingkat
nasional, yakni Jabar, Jateng, dan Jatim. Tidak heran jika sebagian kalangan
menyebut tahun 2018 sebagai ‘tahun politik’. Bahkan, tidak jarang ada yang menyebut
rangkaian pilkada serentak pada tahun ini sebagai ‘pikada rasa pemilu’.
Pilkada dan demokrasi RI
Pada satu sisi, RI boleh relatif
berbangga dengan pelaksanaan pilkada serentak karena Indonesia ialah
satu-satunya negara di dunia yang menyelenggarakan pilkada secara langsung dan
serentak di seluruh dunia. Namun demikian, gemuruh penyelenggaraan pilkada
sejak dilakukan secara langsung pertama kali pada 2004 dan secara
langsung-serentak pada 2015 ternyata belum mampu membawa proses demokrasi di
negeri ini bertransformasi dari ‘demokrasi prosedural’ atau ‘demokrasi formal’
ke ‘demokrasi substantif’.
Secara umum, Samuel P Huntington
menjabarkan demokrasi prosedural sebagai proses seleksi kepemimpinan melalui
pemilihan berkala secara langsung, jujur, dan adil. Pada proses itu, para
kandidat bersaing secara bebas untuk merebut suara dari para pemilih yang sah.
Dengan kata lain, demokrasi seperti ini lebih menekankan berjalannya
prosedur-prosedur formal dalam kehidupan demokrasi.
Akan tetapi, demokrasi substantif
secara umum lebih menekankan pada ditegakkannya nilai-nilai hakiki demokrasi
sehingga rakyat dapat mewujudkan kedaulatannya secara konkret. Pada
kenyataannya, pelaksanaan demokrasi prosedural seperti yang tecermin dalam
pelaksanaan pilkada mempunyai beragam ekses negatif. Secara sederhana, ekses
negatif itu terlihat secara nyata pada penggunaan media sosial secara tidak
bertanggung jawab untuk mendiskreditkan calon-calon tertentu yang akan atau
sedang berkompetisi dalam pilkada.
Lebih jauh, praktik yang tidak
mencerminkan demokrasi substantif dalam pelaksanaan pilkada langsung-serentak
terlihat pada koalisi parpol pada proses seleksi calon kepala daerah. Memang,
tidak terelakkan, pencalonan kepala daerah parpol-parpol harus berkoalisi
sesuai fakta riil konstelasi politik di daerah masing-masing. Akan tetapi, di
sisi lain, koalisi antarparpol itu juga dapat diinterpretasikan sebagai proses
politik transaksional semata karena ada parpol tertentu yang tidak cakap
membangun pendidikan politik. Tidak mampu menghadirkan kadernya sebagai calon
pemimpin politik di suatu daerah. Akibatnya, parpol itu menempuh cara pragmatis
dengan berkoalisi walau tidak jarang harus berkoalisi dengan parpol-parpol yang
memiliki platform berbeda.
proses menuju demokrasi
substantif sudah tentu tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan elite-elite
politik. Lebih dari itu, dibutuhkan suatu pembangunan nilai-nilai atau karakter
kebangsaan yang kukuh pada rakyat secara keseluruhan. Sebab, dalam proses
demokrasi, terutama dalam suksesi kepemimpinan, rakyat lah yang menentukan
pasangan calon yang berhak mengemban amanat rakyat.
Membina karakter
Pada tataran tertentu, berbagai
masalah yang masih dihadapi dalam kehidupan demokrasi di RI saat ini, terutama
yang berhubungan dengan proses pilkada, menunjukkan lemahnya karakter
kebangsaan. Padahal, karakter kebangsaan sejatinya sudah memiliki rujukan yang
jelas, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
NKRI, dan UUD Negara RI 1945.
Demikian krusialnya penanaman
karakter kebangsaan, Presiden pertama RI Ir Soekarno pernah menekankan,
“...bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, teknik, pertahanan, adalah
pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa...tentu saja
keahlian adalah perlu, tetapi keahlian saja tanpa dilandaskan pada jiwa yang
besar tidak akan dapat mungkin akan mencapai tujuannya, inilah perlunya, sekali
lagi mutlak perlunya, nation character building.''
Pendidikan harus bisa berfungsi
ikut membangun kapasitas bangsa sebagai manusia pembelajar, sehingga bisa andal
dan percaya diri dalam percaturan global sekarang serta rancangan ke masa
depan. Dalam konteks ini, bukan hanya kukuh dan lumintu dalam visi serta cita etis
pendidikan yang humanis dan religius, melainkan juga pendidikan mempunyai daya
dan tata kelola untuk memperkaya kehidupan yang demokratis.
Pengembangan nilai-nilai
demokratis di dekolah juga perlu diterapkan untuk menghadapi era globalisasi
yang kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan
akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai
bangsa di dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya
manusia yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis,
sehingga memiliki resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban
Untuk menciptakan generasi
generasi yang berdemokrasi secara substantif tidak lepas dengan pendidikan dan
proses pembelajaran, dalam hal ini adalah peserta didik, supaya dalam diri
peserta didik tumbuh rasa saling menghormati, menghargai, dan memahami berbagai
persoalan kehidupannya secara lebih bijaksana. Sikap demokratis dibutuhkan
untuk menumbuhkan sikap saling menghargai pada peserta didik agar mereka dapat
lebih bijaksana memaknai setiap peristiwa bersejarah yang banyak interpretasi.
Dengan menggunakan proses tahapan
yaitu Timing, Pairing and Sharing. hal ini dilakukan
sebagai bentuk latihan supaya peserta didik dapat memberikan kesempatan kepada
orang lain untuk berbicara atau mengemukakan pendapat sehingga proses diskusi
akan berjalan efektif. Serta pentingnya sikap demokratis harus dimiliki oleh
peserta didik dengan menanamkan akhlakul
karimah dan membuka cakrawala pandang sebagai bagian dari masyarakat dunia
serta menanamkan toleransi.
Diharapkan lembaga pendidikan yang ada baik dari formal ataupun non formal dapat mencetak generasi generasi yang demokrasi
Sumber Refrensi : 1 _ 2
Sumber Refrensi : 1 _ 2
0 komentar:
Posting Komentar