Ada tiga alasan utama mengapa siswa pendidikan formal mengalami putus
sekolah, yaitu karena (1) kesulitan ekonomi, (2) tidak mau sekolah, dan
(3) sudah pintar cari uang. Ketiga alasan tersebut juga menjadi penyebab
peserta didik tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
Alasan kesulitan ekonomi banyak
ditemui pada warga belajar Paket B dan Paket C. Pada sebagian kasus
ditemukan adanya warga belajar yang pernah mengikuti pendidikan formal
(SMA). Biasanya mereka sudah diterima dan belajar di SMA (swasta), namun
dalam perjalanan mereka tidak bisa membayar uang pangkal sehingga
memilih keluar dan masuk program Paket C yang bebas uang pangkal dan biaya relatif lebih murah.
Alasan kesulitan ekonomi inilah yang menyebabkan banyak warga belajar Paket C masuk dalam rentang usia sekolah. Padahal prioritas sasaran Paket C adalah usia di atas 18 tahun (atau di atas usia sekolah/SMA).
Namun demikian satuan pendidikan nonformal tidak kuasa menolak peserta
didik, sehingga walaupun tidak masuk dalam prioritas sasaran tetap
diterima dalam program Paket C. Karena
peserta didik tidak masuk dalam prioritas sasaran, maka satuan
pendidikan nonformal kesulitan untuk mengajukan bantuan dana baik
melalui APBN/APBD. Sehingga skema swadaya merupakan salah satu
alternatif, dan ini pun masih memberatkan masyarakat karena tidak bisa mengenyam pendidikan gratis.
Sebenarnya pemerintah dan sebagian pemerintah daerah
sudah menyiapkan program retreival, yaitu program melacak siswa sekolah
yang putus sekolah karena alasan ekonomi. Siswa yang putus sekolah
didata dan diberi bantuan beasiswa sehingga bisa tetap melanjutkan
pendidikan formalnya. Namun sayangnya program ini tidak bisa menjangkau
seluruh siswa sekolah, sehingga tetap saja ada siswa yang putus sekolah
dan akhirnya memilih pendidikan kesetaraan (program Paket) sebagai
pilihan terakhir.
Alasan tidak mau sekolah merupakan
alasan yang paling sulit pemecahannya. Jika karena anak merasa jenuh
atau tertekan dengan sistem persekolahan, biasanya orang tua memilih
pendidikan alternatif berupa sekolahrumah (homeschooling) untuk
tetap mendidik anaknya. Namun demikian pilihan ini hanya dapat dilakukan
oleh kalangan yang mampu saja, karena melaksanakan sekolahrumah
membutuhkan biaya yang cukup tinggi di samping kemampuan orang tua yang
cukup untuk membimbing anaknya melakukan sekolahrumah.
Namun jika anak benar-benar tidak mau sekolah karena
malas belajar, hal tersebut akan sangat sulit pemecahannya karena anak
tidak memiliki lagi motivasi belajar. Salah satu solusinya adalah anak
diberikan bekal ketrampilan sehingga siap untuk menghadapi kehidupan.
Alasan ketiga, adalah anak sudah pintar cari uang sehingga
kurang motivasi untuk melanjutkan pendidikan. Jika anak masih dalam
usia wajib belajar, maka kewajiban orangtua dan masyarakat untuk
memotivasi anak agar menyelesaikan pendidikannya sampai SMP atau Paket
B. Orangtua hendaknya juga menyadari bahwa anak usia wajib belajar tidak boleh dieksploitasi untuk bekerja mencari nafkah.
Namun demikian pada kelompok masyarakat miskin situasi ini akan sulit
untuk diatasi karena anak dapat dijadikan aset dalam ikut memikul beban
ekonomi keluarga.
Pada sebagian kasus masalah di atas dapat diatasi
dengan menyediakan layanan pendidikan kesetaraan bagi pekerja anak. Hal
mana dilakukan oleh Sanggar Kegiatan Belajar Jakarta Timur yang
memberikan layanan program Kejar Paket kepada pekerja anak, yaitu
pemulung, pengasong dan pengamen. Gejala ini juga dijumpai di kalangan
artis usia sekolah sekolah, biasanya mereka mememnuhi kebutuhan
pendidikannya dengan mengikuti layanan pendidikan sekolahrumah.klik
0 komentar:
Posting Komentar